Apakah perilaku ini yang muncul di karyawan Anda ?
- Kurang gairah dan antusias dalam melakukan pekerjaan
- Tidak berusaha untuk bekerja lebih dari yang diharapkan atau bekerja seadanya
- Tidak terdorong mengembangkan diri
- Kurang punya inisiatif untuk melakukan perbaikan. Hanya bekerja sesuai dengan instruksi
- Bekerja hanya untuk memenuhi job description yang diberikan kepadanya
Bila situasi tersebut muncul di perusahaan Anda, bisa jadi karyawan Anda melakukan “quiet quitting” ini.
Apakah Tren “quiet quitting” ini baru terjadi di zaman milenial atau ketika kita mempekerjakan karyawan milenial? Sebenarnya tidak juga. Di tahun 90-an dinamika yang sama sebenarnya sudah terjadi, hanya berbeda istilah saja. Dulu, hal ini dikenal dengan istilah coasting.
Dan kalau benar tren “quiet quitting” ini terjadi di perusahaan Anda, coba berhenti sebentar untuk menyalahkan karyawan Anda atau bagian SDM di perusahaan Anda. Bisa jadi, “quiet quitting” ini terjadi karena sumbangsih Anda sebagai seorang pimpinan di perusahaan, entah Anda pemimpin yang memang ditunjuk oleh pemilik perusahaan atau Anda sebagai pemimpin dan pemilik.
Pertanyaannya, kenapa fenomena “quiet quitting” ini terjadi di perusahaan saya?
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gallup (2020), kondisi quiet quitting karyawan di perusahaan karena dipengaruhi oleh beberapa situasi, seperti ketidakjelasan harapan pimpinan terhadap karyawan, kesempatan untuk belajar dan bertumbuh, perasaan diperhatikan dan di hargai atasan, dan kedekatan karyawan terhadap Visi misi perusahaan.
Berdasarkan Hasil survey kepada 1000 karyawan terkait fenomena ini, ada beberapa alasan kenapa karyawan memilih “quiet quitting” ketika bekerja di perusahaan :
- Pekerjaan yang diberikan kepada karyawan hanya sifatnya rutin, fokus kepada mengejar pencapaian kpi, pendapatan penjualan dan efisiensi biaya sehingga karyawan merasa diperlakukan sebagai “mesin” pencari keuntungan semata
- Karyawan merasa sudah stuck dengan pekerjaan mereka saat ini, tidak ada ruang pertumbuhan yang diperhatikan oleh pimpinan perusahaan dan seringnya ide karyawan dipatahkan oleh atasan karena dianggap tidak akan berhasil
- Tidak diapresiasi dengan baik, termasuk tidak disediakannya ruang kreasi yang cukup untuk melakukan perbaikan
- Mengalami burn out karena beban kerja yang berlebihan dan tidak jelas
- Kurangnya bimbingan dari atasan atau pimpinan perusahaan. Karyawan dituntut untuk Langsung “lari” dan dengan bekal minimum, bahkan tidak ada sama sekali
- Lingkungan kerja yang kurang kondusif, pengambilan keputusan atasan yang tidak konsisten dan sistem kerja yang kurang terarah
- Gaya kepemimpinan yang cenderung otoriter, instruksional dan kurang membimbing tim untuk menjadi optimal
- Kurangnya empati sehingga membuat lelah aspek mental dan emosional
Karena salah satu kekuatan manusia adalah mampu beradaptasi dengan lingkungan dimana ia berada, maka sangat besar kemungkinan “Quiet quitting” ini menular kepada karyawan lain dan lama kelamaan akan menjadi budaya perusahaan bila tidak segera disadari oleh Anda sebagai pimpinan perusahaan.
Dan bisa disimpulkan bahwa kondisi “quiet quitting” ini menunjukkan simtom rendahnya sistem manajemen yang ideal di perusahaan.
Lalu bagaimana cara mengatasi kondisi “quiet quitting” ini?
Bila Anda sebagai pimpinan perusahaan merasa kondisi “quiet quitting” ini meresahkan dan memerlukan perubahan di perusahaan Anda, maka ada beberapa cara untuk mengantisipasi ini :
1. Minta umpan balik dan implementasikan.
“Quiet quitting” dimulai dengan kurangnya komunikasi yang tepat antara karyawan dan atasan. Itu berarti seseorang tidak berbicara, atau seseorang tidak mendengarkan. Sayangnya, dinamika kekuasaan antara atasan dan karyawan membuat sulit bagi karyawan untuk menyampaikan kekhawatiran kepada atasan. Jadi, alih-alih memaksakan pekerja untuk datang kepada Anda dengan ketidaksepakatan mereka, buatlah poin untuk pergi ke mereka. Gunakan alat, seperti survei online dan kuesioner anonim, untuk mengukur seberapa efektif Anda memimpin mereka. Apa yang berhasil? Apa yang tidak? Sampaikan semuanya secara terbuka sehingga Anda dapat mulai mengubah beberapa faktor yang menyebabkan mereka menjadi “quiet quitter”. Bagian terakhir itu sangat penting — jika Anda meminta umpan balik dan tidak menyukai apa yang Anda dengar, menutup diri untuk itu tidak akan ada gunanya bagi Anda.
2. Berikan pengakuan dan penghargaan.
Banyak perusahaan tidak membuat prioritas yang strategis dalam memberikan pengakuan dan penghargaan kepada karyawan. Sekarang waktunya bagi Anda untuk mengubahnya. Dengan memberikan pengakuan dan penghargaan atas usaha karyawan akan membuat Anda meningkatkan produktivitas karyawan Anda, dan ini juga berlaku ketika Anda membangun percakapan yang terbuka dan jujur kepada karyawan Anda, terutama terkait status mereka sebagai karyawan di perusahaan.
3. Tidak terburu - buru dalam mengambil keputusan.
Banyak pimpinan perusahaan sering mengambil keputusan yang tergesa - gesa untuk mengatasi masalah yang terlihat, dan bukan masalah yang sesungguhnya, sehingga kemudian memunculkan masalah lain yang dampaknya lebih besar. Atau situasi lain, akibat tergesa - gesa dalam mengambil keputusan, pimpinan perusahaan cenderung berubah - ubah dan tidak konsisten atas keputusan yang dibuat sebelumnya.
4. Fokuskan pada perbaikan gaya kepemimpinan dan manajemen perusahaan.
Sementara penghargaan dan pengakuan tampaknya menjadi faktor yang berkontribusi, mereka bukan satu-satunya peluang bagi organisasi untuk ditingkatkan. Menurut studi tempat kerja Harvard Business Review, “quiet quitter” lebih seperti respons terhadap budaya tempat kerja yang buruk - yaitu atasan yang buruk.
Pertimbangkan temuan berikut dari HBR, yang menganalisis data yang dikumpulkan pada hampir 3.000 manajer sejak 2020:
Manajer dengan peringkat terendah memiliki tiga sampai empat kali lebih banyak 'quiet quitter' dalam tim mereka sebagai manajer dengan peringkat tertinggi.
Manajer yang paling tidak efektif mengalami 14% dari bawahan yang “quiet quitter” (yaitu, tidak terlibat) dan hanya 20% yang bersedia bekerja ekstra.
Manajer yang paling efektif hanya melihat 3% bawahan langsung mereka yang “quiet quittter” dan 62% karyawan bersedia untuk melampaui apa yang diharapkan dari mereka.
Berdasarkan Temuan dari HBR, ada tiga titik koneksi utama yang dapat difokuskan oleh manajer untuk meningkatkan keterlibatan dan hasil:
Kepercayaan — Apakah Anda berbicara jujur dengan tim Anda dan menetapkan harapan yang jelas? Apakah Anda memastikan tim Anda merasa dihargai? Apakah Anda menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan anggota tim Anda?
Konsistensi — Apakah Anda memenuhi janji Anda dan menetapkan harapan yang jelas untuk diri Anda sendiri?
Keahlian — Apakah Anda mengetahui pengetahuan industri terkini? Apakah Anda tahu bagaimana menjalankan peran Anda dengan baik? Apakah Anda dipercaya dan dihormati atas masukan Anda?
5. Belajar dari organisasi berkinerja terbaik dengan keterlibatan karyawan yang tinggi.
Berdasarkan pengalaman dari perusahaan yang berkinerja tinggi, ditemukan beberapa fakta menarik untuk membangun engagement karyawan :
- Gunakan job description yang tepat dan realistis ketika melakukan proses rekrutmen. Realitasnya, banyak perusahaan yang tidak transparan atau tidak jelas mengenai apa yang diharapkan terhadap posisi tertentu ketika proses rekrutmen dan kondisi di lapangan. Dengan menggambarkan situasi sesungguhnya kepada kandidat, ini akan membantu mereka Mengelola ekspektasi ketika mereka bergabung di perusahaan Anda.
- Hubungkan Nilai - Nilai Anda dengan keputusan bisnis. Organisasi yang menggabungkan budaya dan nilai-nilai organisasi mereka ke dalam pengambilan keputusan harian mereka mengumpulkan lebih banyak kepercayaan karyawan. Misalnya, bisnis yang menghabiskan di atas anggaran aslinya untuk mendukung kesejahteraan dan fleksibilitas karyawan selama pandemi melihat keterlibatan karyawan yang lebih besar.
- Menggabungkan pengaturan kerja fleksibel. Organisasi yang memungkinkan karyawan mereka untuk bekerja secara fleksibel dengan cara yang mereka sukai akan meningkatkan kinerja dan keterlibatan karyawan.
- Investasi dalam pengembangan karyawan secara intensif. Dari penelitian Gallup membuktikan sistem manajemen yang buruk mengakibatkan kurangnya engagement karyawan terhadap perusahaan. Disini, perusahaan berkewajiban melatih dan meningkatkan keahlian karyawan mereka, termasuk para pimpinan untuk mampu membangun potensi bawahan, berkolaborasi secara efektif dengan anggota tim dan memberikan nilai lebih kepada pelanggan. Ini termasuk menetapkan harapan yang jelas, memastikan sumber daya yang cukup tersedia, dan memberi karyawan mereka kesempatan terbaik untuk berhasil dalam peran mereka.